ASPIRASI PUBLIK TERKAIT UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN PILKADA

Temuan Survei Nasional: 1 – 3 Februari 2021

Latar Belakang

  • Setiap akan menyelenggarakan pemilihan umum, biasa dilakukan evaluasi terhadap undang-undang pemilihan umum. Menjelang pemilihan umum 2024 aspirasi untuk melakukan evaluasi dan melakukan perubahan terhadap Undang-undang pemilihan umum juga sudah muncul.
  • Di Komisi II DPR RI yang membidangi masalah ini, sudah diusulkan dan dibahas bagi kemungkinan “perbaikan” UU untuk pemilu 2024 nanti.
  • Dalam konteks UU pemilihan umum tersebut yang krusial adalah: Pertama, sejauh mana pemilhan presiden tetap dilakukan menurut asas pemilihan langsung oleh rakyat atau lewat wakil-wakil rakyat di MPR (anggota DPR dan DPD). Isu ini penting karena masih ada aspirasi agar presiden dipilih oleh MPR meskipun hal itu menuntut amandemen UUD 1945.
  • Kedua, aspirasi yang menghendaki agar sistem pemilihan anggota DPR/DPRD dirubah dari sistem proporsional daftar calon tebuka sebagaimana berlaku sekarang menjadi sistem proporsional daftar calon tertutup. Perbedaan dasar kedua varian sistem proporsional ini adalah bahwa dalam sistem proporsional daftar terbuka nomor urut calon tidak mutlak menentukan kemenangan kursi dari satu partai di daerah pemilihan. Yang lebih menentukan dalam perolehan kursi dan mewakili partai di sebuah Dapil adalah perolehan suara terbanyak oleh seorang calon berapapun nomor urutnya. Sementara dalam sistem proporsional dengan daftar calon tertutup nomor urut calon menentukan kemenangan seorang calon bagi partai di sebuah daerah pemilihan tertentu, dan yang menentukan nomor urut adalah petinggi partai.
  • Ketiga, ada aspirasi untuk merubah terkait keserentakan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden. Dalam UU yang sekarang pemilihan keduanya dilakukan serentak seperti dilakukan pada pemilu 2019. Berdasarkan evaluasi hasil pemilu 2019 muncul aspirasi agar pemilihan anggota legislatif dan presiden kembali dipisah waktu pelaksanaanya. Salah satu pertimbangannya karena keserentakan tersebut membuat pelaksanaan pemilu kurang terlaksana dengan baik.
  • Keempat, ada aspirasi agar Pilkada dalam 4 tahun ke depan tidak diserentakkan tahunnya dengan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden 2024 nanti. Pertimbangan utamanya adalah mencegah beban berat dalam pelaksanaan pemilu ataupun Pilkada. Pemilu serentak 2019 dinilai berat dilaksanakan apalagi ditambah dengan ratusan Pilkada di seluruh tanah air. Di samping itu, di antara kepala daerah ada yang habis masa jabannya pada 2022 dan 2023, maka kekosongan jabatan yang cukup lama itu akan diisi oleh PLT yang tidak punya mandat dari rakyat, dan membuka peluang bagi kekuasaan pusat memperlemah prinsip otonomi daerah dan demokrasi.
  • Akuntabilitas kebijakan publik seperti UU terkait pemilu menjadi sebuah ciri yang khas dalam demokrasi: Sejauh mana UU pemilu itu dapat dipertanggungjawabkan kepada publik bahwa UU tersebut mencerminkan keinginan publik atau pemilih? Opsi-opsi mana terkait UU pemilu tersebut yang lebih mencerminkan aspirasi pemilih dan prinsip demokrasi?
  • Apakah preferensi-preferensi elite partai di DPR mewakili pandangan pemilih mereka? Semakin pilihan elite partai mendekati aspirasi pemilih mereka maka pilihan elite tersebut semakin accountable kepada publik dan kepada pemilih.
  • Untuk mengetahui akuntabilitas pada pemilih mengenai pilihan-pilihan tekait UU pemilu dilakukan survei opini publik atau pemilih secara nasional yang dilakukan pada 1-3 Februari 2021. Survei ini dilakukan dengan biaya CSR Indikator.

Silahkan download hasil Rilis Survei ini disini: Materi Rilis Indikator Feb_08-02-2021