https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/700x-/news/2020/12/083afde65b41f7f4714bfe807c79d561.jpg

Burhanuddin Muhtadi (Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dan Pengajar FISIP UIN Jakarta)

DUNIA mengalami kemunduran demokrasi dalam beberapa tahun terakhir. Freedom House (2020) melaporkan bahwa 25 dari 41 negara demokrasi yang telah mapan mengalami erosi demokrasi selama 14 tahun berturut-turut. Para ahli menyebut, fenomena tersebut dengan istilah yang beraneka ragam. Sebagian menyebutnya dengan istilah regresi demokrasi, atau resesi demokrasi, atau bahkan dekonsolidasi demokrasi.
Terlepas dari istilah yang berbeda-beda, gejala itu merujuk pada kondisi yang sama, yakni berhentinya gelombang ketiga demokrasi dunia yang dimulai sejak 1991 serta meningkatnya populisme dan iklim ketidakbebasan yang mengancam banyak negara.
Uniknya, aktor utama di balik resesi demokrasi di dunia bukanlah kekuatan-kekuatan nondemokrasi tradisional, seperti militer atau milisia, melainkan elite politik demokrasi yang terpilih melalui mekanisme pemilu, seperti dalam kasus Donald Trump di Amerika Serikat, Vladimir Putin di Rusia, Recep Tayyip Erdogan di Turki, atau Viktor Orban di Hongaria.
Para pemimpin politik ini terpilih melalui mekanisme pemilu. Namun, kemudian menggunakan mandat politiknya untuk mendegradasi demokrasi melalui serangan terbuka terhadap oposisi dan media massa, penggunaan secara eksesif populisme dan politik identitas.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia tidak bisa mengelak dari fenomena resesi demokrasi di atas. Pada 2014, Freedom House melaporkan bahwa indeks demokrasi Indonesia merosot dari kategori free (bebas) ke partly free (bebas sebagian). Biang kerok penurunan tersebut ialah kebebasan sipil yang terancam UU Ormas, yang membatasi organisasi kemasyarakatan, pengawasan berlipat terhadap aktivitas ormas, dan kewajiban mencantumkan Pancasila sebagai dasar organisasi.
Hingga kini, indeks demokrasi Indonesia masih belum pulih. Pada laporan terakhir Freedom House 2020, catatan buruk demokrasi kita masih di seputar kebebasan berkumpul, kebebasan beragama dan beribadah, dan korupsi yang tidak kunjung mereda.
Lembaga pengindeks demokrasi yang lain, The Economist Intelligence Unit, juga merekam temuan yang senada. Rating demokrasi kita menurun tiga tahun berturut-turut. Pada 2016, Indonesia masih menempati peringkat ke-48 dari 167 negara yang distudi. Ranking demokrasi kita sekarang merosot ke nomor 64 dengan skor hanya 6,39.
Berdasarkan kategorisasi yang dibuat The Economist Intelligence Unit, Indonesia menempati posisi paling dasar dari kategori flawed democracies (negara demokrasi yang cacat). Rapor Indonesia yang merah, terutama karena masalah kebebasan sipil dan budaya politik yang illiberal, seperti intoleransi dan politik identitas.
Studi terbaru yang dilakukan Indikator Politik Indonesia, mengonfirmasi penilaian dari lembaga-lembaga pengindeks demokrasi di atas. Dengan sampel 1.200 responden, survei nasional Indikator pada September 2020 menemukan, hanya 17,7% responden yang menilai Indonesia sek arang menjadi lebih demokratis. Sebaliknya, 36% responden menilai bahwa Indonesia kini kurang demokratis dan 37% menganggap tetap sama saja keadaannya.
Dengan kata lain, warga yang menilai bahwa Indonesia semakin tidak demokratis dua kali lipat lebih banyak jika dibandingkan dengan yang menilai Indonesia saat ini semakin demokratis.
Berdasar analisis regresi, persepsi tentang demokrasi di Indonesia, salah satunya secara signifikan dipengaruhi faktor usia. Semakin tua responden cenderung menilai Indonesia lebih demokratis. Sebaliknya, semakin muda responden, semakin negatif persepsi mereka. Hal ini karena referensi perbandingan pemilih tua ialah demokrasi masa Orde Baru, yang tentu saja masih jauh lebih buruk daripada saat ini. Sementara itu, pemilih muda membandingkan kondisi demokrasi sekarang dengan masa pemerintahan sebelum Jokowi.
Survei nasional Indikator juga menunjukkan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat (79,6%), makin sulit berdemonstrasi, atau melakukan protes (73,8%), dan aparat dinilai makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa (57,7%).
Namun, analisis regresi menunjukkan salah satu faktor yang secara signifikan menjelaskan indeks kebebasan sipil, yang merupakan gabungan ketiga item yang terdiri atas takut menyuarakan pendapat, sulit melakukan protes, dan aparat dianggap makin semena-mena dipengaruhi sikap partisan.
Jika responden merupakan pemilih Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019, ia cenderung tidak setuju bahwa kebebasan sipil makin memburuk. Sebaliknya, pemilih Prabowo-Sandi cenderung setuju kebebasan sipil makin berkurang.
Meskipun skor indeks demokrasi Indonesia merosot dari waktu ke waktu, kita masih lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara mayoritas muslim lainnya. Hasil kajian American Political Science Association bidang Democracy and Autocracy (Vol 18(3) Desember 2020), memberi kabar melegakan tersebut, dengan menganalisis dua dimensi: durasi dan trayektori.
Durasi diukur lama atau pendeknya sebuah negara Islam dalam berdemokrasi, sedangkan trayektori, menunjukkan sejauh mana kecenderungan umum sebuah negara dalam meniti jalan demokrasi: apakah trennya membaik atau memburuk.
Indonesia dan Senegal, termasuk negara mayoritas Islam yang sukses baik dari segi durasi berdemokrasi yang panjang, sejak lepas dari otoritarianisme, maupun dari segi tren demokrasi yang relatif masih lebih baik daripada negara-negara Islam lainnya.
Turki sebaliknya, menjadi contoh negara yang lama berdemokrasi, tapi tren demokratisasinya makin memburuk dan mengkhawatirkan. Malaysia, Mali, Albania, dan Tunisia masuk jajaran negara Islam yang memiliki perkembangan demokrasi yang bagus, tapi belum terbukti karena durasi mereka dalam berdemokrasi belum terlalu lama.
Jadi, menurunnya indeks demokrasi Indonesia harus dibaca dalam konteks resesi demokrasi yang terjadi di tingkat global. Jangankan kita yang baru berdemokrasi sejak jatuhnya Orde Baru 1998, banyak negara demokrasi lawas yang mengalami dekonsolidasi demokrasi. Jika diletakkan secara komparatif, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara Islam atau negara-negara di kawasan Asia Tenggara, demokrasi di Indonesia masih lebih baik.
Polarisasi
Salah satu karakteristik regresi demokrasi yang terjadi secara global ialah dunia yang makin terpolarisasi, warga terbelah berdasarkan sikap partisan masing-masing. Sikap partisan ini pada akhirnya menggiring setiap pemilih untuk mengabaikan kebenaran objektif serta membuat emosi dan keyakinan personal dianggap lebih penting jika dibandingkan dengan data dan fakta. Inilah yang kemudian dieksploitasi pemimpin populis untuk menjalankan agenda-agenda illiberal karena sikap partisan pendukung mereka, memungkinkan agenda tokoh populis tadi berjalan sesuai rencana.
Penurunan skor demokrasi di Indonesia juga disumbang polarisasi yang dalam, terutama sejak dua pilpres terakhir. Polarisasi antara pemilih Jokowi versus Prabowo membuat tiap-tiap pendukung fanatik memaklumi pendekatan keras terhadap lawan politiknya yang bertentangan dengan demokrasi. Fenomena saling melaporkan ke polisi, juga membuat iklim ketakutan sehingga kebebasan berbicara makin merosot.
Media sosial makin memantik polarisasi, yang diikuti fenomena echo-chamber, saat warganet terkungkung dalam ruang gema. Mereka cenderung memilih teman-teman yang sekubu. Dalam ruang gema objektivitas tertimbun keseragaman pikiran yang disebabkan homogenitas teman di lini masa.
Akhirnya, mereka cenderung selektif dalam menerima informasi di media sosial. Jika informasi yang masuk ke lini masa berasal dari luar jaringan politiknya, ia akan ditolak, betapa pun akurat. Namun, jika informasi yang masuk datang dari kelompoknya, informasi tersebut akan disebarkan meskipun palsu.
Polarisasi yang merusak akal sehat ini tidak selesai dengan bergabungnya Gerindra ke dalam pemerintah. Pembelahan antarkubu cebong dan kampret, juga tak bakal berhenti meski Prabowo dan Sandi kini telah menjadi menteri Presiden Jokowi.
Singkat kata, polarisasi politik yang tidak sehat harus segera dihentikan agar dekonsolidasi demokrasi yang sedang terjadi bisa kita rem. Caranya ialah mengembalikan akal sehat dalam berdemokrasi dengan menjadikan objektivitas, data, dan fakta sebagai panglima, bukan emosi dan sikap partisan.
Tahun Baru 2021 seharusnya menjadi momentum berharga agar polarisasi bisa kita tekan semaksimal mungkin. Dengan demikian, kita bisa mengembalikan akal budi dalam perbincangan di ruang publik sehingga tidak makin keruh dan beracun. Dalam suasana ruang publik yang sehat itulah kita bisa mengakui bahwa demokrasi kita sedang berkabut dan karenanya perlu solusi bersama untuk mengatasi resesi demokrasi yang sedang terjadi.