http://www.indikator.co.id/uploads/20131016145023.baliho.jpg

Image courtesy by harian jogja


Latar Belakang

Pemilu legislatif 2014 yang akan diselenggarakan 9 April tahun depan diperkirakan akan menjadi pertarungan terbuka yang sengit baik itu secara internal maupun antar-partai bagi para calon anggota legislatif yang telah masuk dalam DCT di KPU. Hal ini disebabkan karena sejak awal para caleg sudah mengetahui mekanisme sistem suara terbanyak sesuai dengan hasil keputusan MK yang merevisi UU No. 10/2008 menjadi UU No. 8/2012 tentang Pemilu Legislatif sejak awal memutuskan sistem suara terbanyak. Berbeda dengan situasi di tahun 2009 kemarin di mana MK memutuskan sistem suara terbanyak (open-list proportional system) hanya beberapa bulan sebelum pileg dimulai, kali ini diharapkan sosialisasi lebih awal dan yang lebih luas terhadap pemilih mengenai sistem tersebut, diperkirakan efek suara caleg lebih besar meningkatkan elektabilitas partainya dibanding pemilu sebelumnya. Pertarungan dan kompetisi antarcaleg dalam satu partai juga akan jauh lebih sengit dibanding sebelumnya. Sistem suara terbanyak juga dinilai banyak ahli akan mengurangi peran partai. Ini menjadi insentif bagi para caleg untuk menggunakan model kampanye yang bersifat partikularistik dan berdasar pada ketokohan personal (Norris, 2003; Hicken, 2007; Allen, 2012). Diperkirakan setiap calon legislatif akan bekerja keras, dan kemudian diharapkan akan memperbesar perolehan suara partai.

Total perolehan suara dari sebuah partai di sebuah daerah pemilihan berasal dari jumlah yang hanya memilih partai ditambah yang hanya memilih calon, dan ditambah yang memperoleh suara partai dan calon sekaligus. Bila partai lemah tapi calon kuat, maka akhirnya perolehan akhir suara partai akan kuat juga, dan demikian juga sebaliknya. Bagaimana faktanya? Mana yang lebih kuat? Calon atau partai dalam menyumbang suara akhir? Indikator berusaha menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan metode statistik empiris berbasis survei yang membandingkan tren efek caleg terhadap perolehan suara partai pada pemilu 2009 lalu dengan survei terbaru yang kami selenggarakan di 45 dapil pada pertengahan tahun 2013 ini.

Temuan dari Survei Pemilu 2009

 

  • Calon turut menentukan hasil akhir perolehan suara partai di DAPIL. Semakin positif kualitas calon suatu partai di sebuah dapil semakin besar hasil akhir yang diperoleh partai di dapil bersangkutan. (Ilustrasi: Grafik 1)

 

  • Namun secara umum pengaruh calon tidak sekuat pengaruh partai itu sendiri. Pengaruh calon hanya sekitar 18%, lebih kecil dari pengaruh partai (82%). (Ilustrasi: Grafik 2)
  • Dari 42 Dapil yang diamati, secara umum, hasil akhir perolehan suara partai di DAPIL lebih terkait dengan pilihan pada partai, bukan pilihan pada calon.

 

Survei Dapil April 2013

Metodologi

  • Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia di 45 Dapil (Jawa, Sumut, Sulsel) yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.
  • Sampel: Jumlah sampel tiap dapil 400.
  • Responden dipilih secara random dengan prosedur multistage random sampling. Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawancara bertugas untuk satu desa/kelurahan yang terdiri hanya dari 10 responden.
  • Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti.
  • Waktu wawancara lapangan April 2013.

Temuan Survei 45 Dapil April 2013

 

  • Secara umum, hasil akhir pemilu sangat ditentukan oleh kekuatan partai. Para calon hanya sedikit pengaruhnya.
  • Hasil survei tahun 2013 ini konsisten dengan temuan survei tahun 2009. Calon memiliki kontribusi terhadap suara partai, namun kontribusinya sangat kecil bila dibandingkan kekuatan partai itu sendiri. (Ilustrasi: grafik 3- contoh dapil Golkar)
  • Para calon pada umumnya sangat bergantung pada kekuatan partai. Sebagian besar calon legislatif menumpang popularitas partainya.
  • Namun demikian, ada sejumlah kasus partikulir menunjukkan bahwa calon dapat mempengaruhi hasil akhir pemilu. (Ilustrasi: grafik 4- contoh dapil PKS)

Kesimpulan

Sejak rezim pemilihan melalui sistem suara terbanyak ditetapkan, calon legislatif ikut menentukan hasil akhir perolehan suara partai di setiap daerah pemilihan. Semakin tinggi popularitas calon dan semakin positif kualitas calon suatu partai di sebuah dapil, maka semakin besar perolehan elektoral suatu partai di sebuah dapil. Namun demikian, survei di 45 dapil yang dilakukan pada April 2013 menunjukkan bahwa kontribusi para calon dalam menaikkan elektabilitas partainya masih sangat minimal. Sebagian besar para calon legislatif dari semua partai yang menjadi kontestan pemilu, menumpang popularitas partainya. Dari 45 Dapil yang disurvei, secara umum, hasil akhir perolehan suara partai di daerah pemilihan lebih terkait dengan pilihan pada partai, bukan pilihan pada calon. Dari temuan ini, kami juga menyimpulkan bahwa survei yang dilakukan pada tingkat dapil, bukan agregat nasional, juga lebih bagus dalam memotret dinamika elektoral di setiap dapil dikarenakan dari beberapa dapil di antara 45 dapil yang disurvei, ada beberapa kasus caleg Demokrat dan PKS yang berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara partai di dapilnya.

Untuk mengunduh laporan lebih lengkap terkait rilis temuan ini, sila klik tautan di akhir artikel ini.

»  Download File