Rilis Indikator: Efek Debat Capres: Perbandingan Survei Tatap Muka dan Survei Telepon.
Sabtu, 20 Januari 2024
26 September 1960 menjadi sejarah baru pertarungan pemilihan presiden di Amerika Serikat. Untuk kali pertama, stasiun-stasiun televisi di negeri Paman Sam menyiarkan debat calon presiden (capres). Tercatat 70 juta penonton memelototi layar televisi menyaksikan John Kennedy sebagai capres dari Demokrat melawan Richard Nixon yang diusung Partai Republik. Jutaan pemilih mengikuti debat melalui radio.
Kennedy tampil energik, segar dan menarik. Ia juga memukau pemirsa dengan gaya komunikasi yang menawan dan artikulatif. Sebaliknya, Nixon yang lebih senior tampak lebih pucat. Ia mengenakan jas warna kelabu. Pilihan warna jas ini tidak pas karena tenggelam oleh latar belakang studio bila ditonton di televisi hitam-putih. Setelah debat, pemirsa televisi menahbiskan Kennedy sebagai pemenang karena penampilannya secara visual lebih menarik. Sebaliknya, pendengar radio —yang tidak melihat langsung Kennedy dan Nixon— justru menilai Nixon sebagai pemenang. Sebagai petahana, Nixon memang lebih menguasai materi ketimbang Kennedy. Debat melalui televisi itulah yang menjadi salah satu kunci kesuksesan Kennedy melenggang ke Gedung Putih.
Kuatnya pengaruh debat yang ditayangkan televisi tersebut yang menginspirasi Michael Bauman (2007) yang menelurkan teori tele-politics, yakni menguatnya peran media, terutama televisi, dalam mempersuasi pemilih.
Namun seiring menurunnya pengaruh televisi di era digital sekarang dan pada saat yang sama peran media sosial yang mulai menguat, pertanyaan mengenai seberapa besar efek media sosial dalam mempengaruhi persepsi warga mengenai debat dan penampilan calon dalam debat mulai sering ditanyakan orang.
Debat yang ditayangkan luas oleh media tradisional atau media sosial akan menguntungkan dua pihak sekaligus: para capres dan tim suksesnya tak perlu menyapa pemilih satu-persatu, dan pemilih juga tak perlu repot menghadiri acara-acara kampanye karena debat yang disiarkan luas oleh media mampu menyelinap ke ruang domestik keluarga.
Semakin besar pemirsa debat, kemungkinan debat memiliki efek elektoral juga dipercaya semakin besar. Debat bisa saja mempengaruhi pemilih yang tidak menonton debat secara langsung di televisi. Melalui teknik penguasaan opini tertentu, para spin doctoratau para pendengung (buzzer) di media sosial bisa mengesankan atau mem-frame seolah-olah capres yang didukungnyalah yang menang dalam debat.
Bagaimana dengan debat calon presiden-wakil presiden di Indonesia? Dan bagaimana pula efek elektoralnya?
Download selengkapnya disini: RILIS INDIKATOR 20 JANUARI 2024