http://www.indikator.co.id/uploads/20131125122912.perbandingan_respon.JPG

Jika PDIP umumkan Jokowi sebagai capres praPemilu Legislatif, enam parpol bisa gagal masuk Senayan.
Sinar Harapan/SHnews.co – JAKARTA –  Keputusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk mencalonkan atau tidak mencalonkan Joko Widodo alias Jokowi sebagai calon presiden mereka dalam pemilu mendatang akan memiliki pengaruh signifikan dalam perolehan suara partai-partai pada Pemilu Legislatif 2014.
Survei terbaru yang dilakukan The Indonesian Institute dan Indikator Politik Indonesia bekerja sama dengan Sinar Harapan menunjukkan enam parpol bakal tak mampu menembus electoral threshold dan gagal menempatkan wakil mereka di parlemen jika PDIP mengusung Jokowi sebagai capres mereka. Keenam parpol yang bakal tersingkir itu adalah Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasional Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Sementara itu, PDIP akan menangguk kemenangan dengan perolehan 37,8 persen suara.
Namun, jika PDIP tak mencalonkan Jokowi, katakanlah menggantinya dengan Megawati maka akan ada tujuh parpol yang masih bisa lolos ke parlemen dan hanya empat parpol yang gagal menembus electoral threshold. Keempatnya adalah PKS, PAN, PBB, dan PKPI. PDIP hanya akan bertengger di urutan kedua pemenang Pemilu Legislatif 2014 dengan 14,4 persen suara, di bawah Golkar yang meraup 21,8 persen suara.
Menanggapi temuan ini, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PKB Marwan Jafar mengatakan, partainya masih optimistis lolos electoral threshold pun jika PDIP positif mencalonkan Jokowi.
“Kami punya cara kerja sendiri untuk berkonsolidasi, kami tidak terpengaruh. Masing-masing partai punya cara untuk tingkatkan suara. Basisnya beda. PKB tidak merasa terpengaruh dengan efek Jokowi. Jadi tentu saja kami masih optimistis karena basisnya beda. Marhaen dan NU (Nahdlatul Ulama) kan berbeda,” ujarnya kepada SH, Mingggu (17/11). Marwan bahkan optimistis PKB tidak hanya lolos electoral threshold, tapi juga lolos sebagai tiga besar parpol pemenang Pemilu 2014.
Optimisme senada disampaikan Sekretaris Jenderal PAN Taufik Kurniawan. Ia mengatakan, simbolisasi kekuatan figur hasil survei belum berbanding lurus dengan perolehan suara di pileg karena terpisah dengan pelaksanaan pilpres. “Lain halnya jika pileg dan pilpres dijadikan satu, itu dimungkinkan. Tapi bagaimanapun, rakyat semakin cerdas untuk memilih,”  katanya.
Anggota Majelis Syuro PKS Tifatul Sembiring juga menyebut bahwa elektabilitas Jokowi dan PDIP tidak bisa berbanding lurus. Ia bahkan meyakini dalam Pemilu Legislatif 2014 nanti, tidak ada partai yang bisa mencapai 20 persen perolehan suara. PDIP dan Golkar, menurutnya,  juga tidak akan mencapainya sebab harus berbagi kue dengan partai nasionalis lainnya. Seperti Marwan Jafar, Tifatul mengatakan PKS berada di kavling yang berbeda dengan dua partai tersebut karena berada di kavling religius. “Itu beda kavling. Kalau lihat sejarah panjang, di Indonesia ini pemilih nasionalis itu 60 persen, sedangkan religius 40 persen. Memang PKS dalam dua periode terakhir mengalami penurunan, tapi tetap potensi pemilih kami ada 40 persen,” tuturnya.
Menurutnya, pilkada bisa menjadi indikator kekuatan nasional sebuah parpol. PDIP, kata Tifatul, belum menguasai karena tidak banyak kepala daerah yang diusungnya yang memenangkan pilkada. Hal ini pula yang Tifatul jadikan dasar elektabilitas PDIP tidak sekuat elektabilitas Jokowi.
Namun apabila survei dilakukan hari ini, Tifatul setuju hanya ada enam parpol yang lolos ke DPR jika Jokowi maju dicalonkan PDIP sebelum pemilu anggota DPR. Namun, ia melanjutkan, pemilu baru dilaksanakan tahun 2014 sehingga masih ada peluang bagi parpol lain, termasuk capres dan cawapres lain yang bersaing ketat. Namun, ia yakin laju PKS masih mulus menuju Senayan.
Sementara itu, Wakil Sekjen PKPI Romulus Sihombing enggan berkomentar karena ia tak yakin PDIP akan mencalonkan Jokowi. Ia hanya mengatakan bahwa partainya optimistis lolos Pemilu Legislatif 2014. “Kami sekarang konsentrasi dulu untuk pileg agar bisa calonkan Ketua Umum PKPI jadi capres atau untuk berkoalisi. Kami masih kerja keras terlebih dulu,” katanya.
Hal senada dikatakan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali. Baginya, hasil survei merupakan tantangan dan motivasi bagi partainya supaya bekerja lebih keras lagi. Ia optimistis perolehan suara PPP akan melampaui 12 persen. “Syukur-syukur bisa mendapatkan 15 persen,” ujarnya.
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Partai Hanura Yuddy Chrisnandi mengatakan hasil survei tersebut tidak mengejutkan. PDIP sudah pasti akan menangguk keuntungan dari popularitas Jokowi. Pola seperti ini, kata Yuddy, juga terjadi saat Obama mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat. Berkat Obama, swing voters pun memilih Demokrat, partai politik yang mengusung Obama. Begitu pula yang terjadi dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat pada Pemilu 2004 dan 2009.

Namun, Yuddy tak setuju jika enam parpol bakal tak lolos ke Senayan jika PDIP mengajukan nama Jokowi sebagai capres. “Terlalu dini mengatakan nanti akan ada partai tersingkir. Tidak seekstrem itu karena pemilu masih 4-5 bulan lagi, masih ada yang bisa dikerjakan,” tuturnya. Namun dengan hasil survei ini, menurut Yuddy, Hanura akan mengintrospeksi internal dan akan mendorong kader-kader melakukan langkah aktif supaya elektabilitas parpol meningkat. Ini penting agar Hanura bisa mendorong capres dari partainya sendiri.

Uji Materi 
Ketua Dewan Syuro PBB Yusril Ihza Mahendra menekankan bahwa hasil survei tersebut tidak akan berguna karena ia akan mengajukan uji materi Undang-Undang Pemilihan Presiden (Pilpres) terhadap Pasal 6A UUD 1945.

Uji materi ini dimaksudkan untuk membatalkan syarat perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.
Soal pelaksanaan penyelenggaraan pemilu anggota DPR yang diatur harus dilaksanakan sebelum pemilu presiden dan wakil presiden juga akan digugatnya.
Jika gugatan ini dikabulkan, sistem politik akan berubah total dan akan terjadi perubahan peta politik secara radikal. Radikal yang dia maksud adalah tidak ada satu pun calon presiden atau calon wakil presiden yang lebih unggul daripada yang lain. Hal ini karena semua partai politik berhak mengajukan capres dan cawapres.
Begitu pula jika pelaksanaan pemilu legislatif dilaksanakan tidak sebelum pemilu presiden dan wapres. “Ini lebih demokratis, lebih terbuka, dan tidak dimonopoli parpol-parpol tertentu yang mengganjal lewat UU ini,” ia menjelaskan.
Kalau sistem berubah total, ia melanjutkan, bisa ada 12 pasang calon yang bisa mengikuti pilpres. Kemenangan partai tidak akan ditentukan lewat pemilu anggota DPR, tetapi lewat siapa capres dan cawapres yang diajukan.
Yusril membantah manuvernya mengajukan uji materi ini sebagai usaha agar partainya tidak kalah dalam pemilu. Sebagai partai politik yang tidak diperhitungkan, dia tidak berharap banyak meskipun sistem pemilu berhasil diubahnya lewat uji materi tersebut. “Saya nggak takut. Saya nothing to lose aja. Saya kan partai underdog, mana ada selama ini hasil survei bilang saya diperhitungkan sebagai capres,” ujarnya sambil terkekeh.

Uji materi tersebut, katanya, semata-mata untuk mengurangi kecurangan pemilu. Sebaliknya, hasil survei ia sebut sebagai upaya untuk melegitimasi kecurangan pemilu. Hal ini dikatakannya karena jika nanti hasil pemilu tidak sesuai dengan hasil survei maka masyarakat akan tidak percaya pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan menilai terjadi kecurangan.

Tersedot Jokowi 
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito mengatakan, jika Jokowi sudah memperoleh dukungan dari PDIP ditambah syarat pemenuhan untuk menjadi presiden, perhatian rakyat akan tersedot ke sana. “Hitung-hitungannya begini, kalau Jokowi sudah memperoleh dukungan dari partai, misalnya PDIP dan Nasdem maka partai lain nggak diperlukan,” ujarnya. Pasalnya, dukungan rakyat akan langsung ke Jokowi. “Dia (parpol kecil) mau dukung atau tidak terserah. Kenapa? Karena partai kecil belum tentu didukung rakyat. Rakyat itu langsung dukungnya ke Jokowi,” ia menambahkan.

Analis komunikasi politik dari Universitas Diponegoro Triyono Lukmantoro menilai, popularitas PDIP akan meningkat seiring dengan popularitas Jokowi. Sama seperti dahulu SBY dan Demokrat pada Pemilu 2004 dan 2009. Partai Demokrat menguat karena popularitas SBY juga menguat. Berbeda dengan Pemilu 2014 mendatang. Citra Partai Demokrat menurun karena banyak kadernya yang terjerat korupsi. Tak heran capres-capres Demokrat kalah populer saat ini dibanding Jokowi.
Parpol-parpol kecil, menurut Triyono, jelas telah kalah, bahkan sebelum bertanding jika Jokowi masuk ke kontes capres ini. “Mereka kehilangan pesona,” ujarnya. Jika parpol-parpol kecil ini tidak memiliki tokoh yang diunggulkan dan tidak kuat dalam penguasaan media, sudah pasti mereka akan kandas dalam persaingan menuju Senayan.(Ninuk Cucu Suwanti)

Sumber : Sinar Harapan
**Artikel ini telah diterbitkan oleh Sinar Harapan 19 November 2013